Beranda | Artikel
Hak Asuh Anak, Tepuk Anak Shalih
Jumat, 3 Mei 2013

HAK ASUH ANAK

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa yang harus dilakukan seorang suami untuk mengambil hak asuh anak jika sudah bercerai dari isterinya? Apakah betul dia tidak berhak memboyong mereka sampai istrinya menikah lagi? Apakah perlu masalah hak asuh diangkat ke pengadilan ?

Jawaban
Pengaduan masalah ini ke pengadilan tidak harus anda lakukan. Jika anda rela anak-anak tetap tinggal bersama ibu mereka, maka tidak masalah. Yang penting anda wajib memperhatikan apa yang terbaik bagi anak-anak. Jika anak-anak lebih baik berada dalam asuhan ibu mereka, maka sebaiknya mereka dibiarkan bersama ibunya, dan anda tidak boleh menghalangi.

Namun jika keadaan mereka akan lebih baik bersama anda, maka anda boleh mengambilnya setelah umur 7 tahun menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad. Mereka tinggal bersama ibu kandungnya hingga semua anak-anak genap berusia 7 tahun. Setelah mencapai tujuh tahun, anak lelaki diberi dua pilihan antara tinggal bersama ibu atau ayahnya, sementara anak perempuan diasuh ayahnya sampai masuk pelaminan. Ini pendapat paling masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, meskipun dalam masalah ini ada banyak perbedaan di kalangan ulama.

Siapapun orangnya, jika anak-anak tinggal bersama ibunya, maka ia (ibu) tidak boleh menghalangi ayah mereka untuk mengunjungi anak-anak. Begitu juga jika anak-anak tinggal bersama ayah, maka ia tidak boleh menghalangi sang ibu untuk mengunjungi mereka. Seorang mukmin harus takut kepada Allah dan memahami bagaimana besarnya kasih sayang orang tua kepada anaknya baik dalam kalbu ibu atau ayah.

Tetapi bila sang ibu telah menikah dengan orang yang bukan kerabat anak-anak, maka sang ayah boleh memboyong mereka menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad.

Masalah-masalah seperti ini (hak asuh anak) perlu merujuk kepada putusan hakim, karena tidak diragukan lagi bahwa mereka (para hakim) akan meneliti dan mengkaji apa yang paling baik bagi anak, karena tujuan utamanya adalah melakukan yang terbaik bagi anak. Hanya Allah yang memberi petunjuk.

(Syaikh Ibnu Utsaimin Fatawa Manaril Islam 3/622)

[Disalin dari kitab Fatawa Ath-Thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa’id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]

TEPUK ANAK SHALIH ?

Pertanyaan.
Ustadz ! Bolehkah kita mengajarkan macam-macam tepuk tangan  kepada anak-anak. Misalnya tepuk  wudhu, tepuk malaikat, tepuk anak shaleh dan lain-lain. Syukran

Jawaban.
Sesungguhnya cukup bagi kita untuk mengajari anak-anak kebaikan-kebaikan yang mereka butuhkan. Seperti, membaca al-Qur’ân, hafalan surat-surat pendek atau ayat-ayat pilihan, hafalan hadits, adab-adab, doa dan dzikir sehari-hari dan lain sebagainya. Demikian juga kita boleh mengajarkan permainan yang mendidik dan bermanfaat untuk hiburan sebagai selingan dari kejenuhan.

Adapun menyibukkan anak-anak dengan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi mereka di dunia dan di akhirat, apalagi dengan syubhat dan maksiat, sepantasnya tidak dilakukan. Seperti mengajari dan menyibukkan anak-anak dengan macam-macam tepuk tangan, nyanyian atau nasyid yang diajarkan di sebagian TK, TPA atau lembaga pendidikan lainnya. Terlebih lagi, tepuk tangan itu termasuk kebiasaan dan cara ibadah orang-orang musyrik, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

 وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً ۚ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

Shalat  mereka (orang-orang musyrik) di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu. [al-Anfâl/8:35]

Imam Ibnu Abi Hâtim rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu, beliau mengatakan, “Dahulu suku Quraisy mengelilingi (thawaf) Ka’bah dengan telanjang sambil bersiul dan bertepuk tangan.

Mujâhid rahimahullah berkata, “Mereka melakukannya hanyalah untuk mengacaukan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Sedangkan az-Zuhri rahimahullah mengatakan, bahwa mereka melakukannya untuk mengejek orang-orang yang beriman. [Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr]

Dalam sebuah kitab yang membahas tentang metode pengajaran anak-anak, penyusunnya yaitu syaikh Muhammad bin Jamîl Zainu rahimahullah menyeru kepada para guru dengan mengatakan, “Waspadailah bersiul dan bertepuk tangan, karena itu menyerupai para wanita, orang-orang fasik dan orang-orang musyrik. Jika ada suatu yang menakjubkanmu maka ucapkanlah ‘Maa syaa Allaahu’ atau ‘Subhaanallaahu”.  [Nida’ ilaa Murabbiyyîn wal Murabbiyyât]

Dengan keterangan ini maka seharusnya macam-macam tepuk tangan itu dihilangkan, apalagi berkaitan dengan ibadah atau agama, dikhawatirkan hal itu termasuk bid’ah atau perbuatan yang memperolok-olok agama dengan tanpa disadari.

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIV/1432H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3601-hak-asuh-anak-tepuk-anak-shalih.html